Hikmah Pagi: Genderang Perang Ujung Tahun
Jumat, 31 Desember 2010
Oleh: Suguh Kurniawan (www.suguh-kurniawan.blogspot.com)
disalin dari Republika.co.id
3d-inspirasi.blogspot.com |
Semakin waktu berputar semakin dekat kita pada kematian. Logika berpikir darwinis mengatakan bahwa hidup tak berpangkal dan berujung, logika para theis mengatakan bila ia akan menemukan satu titik dimana segalanya harus berakhir. Orang Arab bilang bila waktu itu seperti kilatan pedang. Siapa yang tak sigap niscaya akan terpenggal olehnya. Mereka yang mati naas adalah mereka yang alpa menginsyafi esensi waktu yang sebenarnya.
Karena itu segala macam pesta boleh saja dihelatkan. Selebrasi dan hura hura boleh saja digelar semeriah mungkin. Tapi lepas itu kita juga musti siaga akan apa yang harus dilakukan disepanjang tahun yang baru. Sasaran, target, tujuan dan arah perjuangan yang jelas akan membuat kita memiliki vitalitas dalam hidup ini. Apa yang mau kita lakukan nanti mustipula dirumuskan dari sekarang. Ini bukan soal angan angan kosong atau harapan semata.
Ini soal perencanaan yang matang. Karena gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan. Apakan kawan seorang mahasiswa yang ingin mendapat nilai baik dikampus, seorang karyawan yang gigih meniti karir, seorang guru yang berdedikasi mendidik, atau apapun profesi kawan semua, inilah monentum yang tepat untuk menggadang gadang apa yang akan dilakukan tahun depan. Tiap kita tentu punya masing masing impian paling tinggi. Sesuatu yang paling dikatakan utopis untuk diwujudkan tapi kita berhasrat untuk meraihnya. Meraihnya dengan menyemai gagasan perencanaan, merupakan langkah awal yang positif daripada banyak bercuap dan tak berbuat apa apa.
Kemudian seperti dikatakan oleh Andrew Jackson, “Take time to deliberate; but when the time for action arrives, stop thinking and go in” (Ambil waktu untuk merencanakan, tetapi jika tiba waktunya untuk bertindak, berhenti berpikir dan maju terus). Genderang perang tak sedap didengar bila tak pernah ditabuh. Prajurit tak disebut prajurit bila tak pernah terjun ke medan tempur. Mengambil langkah langkah nyata untuk mencapai apa yang kita kehendaki merupakan tindakan ksatria, disaat orang lain masih teler dalam sisa pesta perayaan tahun baru. Bisa jadi jalan yang akan ditempuh curam, terjal dan berbatu. Begitu pula rutenya kan berkelok dan melingkar hingga kita tersesat hilang arah.
Karenanya sebagian orang memutuskan untuk berhenti di tengah jalan. Memilih untuk mengibarkan berdera putih dan diam-diam mengundurkan diri dari medan perjuangan. Mulanya mereka adalah pemimpi besar, calon calon bintang paling potensial dibidangnya. Sayang, masa masa pancaroba telah memupus mereka dari kancah persaingan yang luar biasa ketat. menjadikan mereka pecundang yang mengenaskan
Bagi kita mengambil tindakan nyata untuk mewujudkan apa yang kita kehendaki, tidaklah seinstant membalikan telapak tangan. Kita musti benar benar merasai, tahap demi tahap pencapaian yang kita lakukan. Untuk bangkit , jatuh dan bangkit lagi. Bukankah Roma tak dibangun dalam satu hari? Bukankah perjalanan hijrah tak ditempuh dalam satu malam.
Proses panjang dan berbelit hanya akan membuat kita makin antusias. Gairah makin tersulut. Vitalitas kita justru makin bugar karenanya. Karena percobaan, seperti api, yang membakar batu lalu mengkilapkan emas didalamnya, seperti palu dan tatahan, yang menghujam granit lalu menjadikannya patung, seperti kuas yang menggurati kanvas lalu menjadikannya lukisan yang cantik. Proses hanya akan membuat kita makin dewasa. Dan kedewasaan membuat kita makin imun dalam menghadapi rintangan demi rintangan. Ia juga membuat kita makin fokus untuk mengejar harapan-harapan.
Tahun baru adalah resolusi baru. Kita ksatria kehidupan yang sedang gamang, memang. Kita pengembara nilai nilai yang tak tahu apa yang akan terjadi, itu juga benar. Tapi dengan melakukan perencanaan dan langsung beregrak pada langkah langkah nyata, membuat kita memiliki proyeksi. Gambaran di depan tak terlalu buram. Jalan yang akan dipijak, meski remang remang dapat kita susuri. Hidup harus terus berlanjut. Kalau tak mau disebut pecundang, ia harus diseriusi pula. Karena yang lari darinya akan tercecer dari panggung sejarah. Sekedar jadi penonton, sepi dan mati tanpa siapaun yang mengenalinya.
0 komentar:
Posting Komentar